Menteri Propaganda ideologi Fasis era Adolf Hitler Goebbels, pernah mengatakan kurang lebih seperti ini, sebuah kebohongan bila terus - menerus dikampanyekan akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dalam suatu kesempatan saya diajak mengikuti sebuah diskusi tentang di Kantor Staf Presiden dengan (KSP) tema "Tantangan Menanggulangi Radikalisme dan Ekstremisme" (14/02/201). Sebuah topik yang berat namun kontekstual dengan kondisi sosial terkini.
Fenomena - fenomena kekerasan verbal dan non - verbal sudah menjadi tren di masyarakat. Di ranah media sosial, tak asing lagi dengan postingan kekerasan non - verbal yang isinya saling menghujat, mencaci - maki oleh satu kelompok terhadap kelompok lain, kalangan pendukung oposisi terhadap kalangan pendukung pemerintah.
Apakah anda termasuk di dalam salah satunya, semoga tidak.
Kekerasan - kekerasan non- verbal di dunia maya ternyata ada beberapa kasus yang berlanjut ke dunia nyata. Banyak kasus yang asal-muasal dari perdebatan dan polemik di media sosial lalu berlanjut ke ranah dunia nyata. Beberapa kejadian ini bahkan akhirnya menjadi "viral" di media sosial.
Apa yang terjadi belakangan ini kadang sulit kita mengerti, bagaimana tidak, gara - gara perdebatan di media sosial ujungnya kekerasan fisik. Sedemikian parahkan moralitas warga negara Indonesia yang selalu bangga mempunyai Pancasila dengan sila pertama tentang Ketuhananan.
Fenomena - fenomena sosial yang timbul dari implementasi tehnologi informasi ini tak terbayangkan semasa media informasi paling canggih adalah media televisi. Begitu memasuki era digital informasi kita gagap dan gagal menyikapi secara bijak dan arif.
Media sosial lebih banyak dijadikan sarana promosi konten negatif seperti seks, kekerasan, agitasi politik, ujaran kebencian. Sedangkan konten - konten positif seakan tenggelam. Teori media klasik tentang konten media ternyata masih berlaku, pengakses media lebih menyukai tema berbau "Sex, War and Crime".
Dewasa ini tiga tema itu juga menjadi favorit pengguna sosial media di Indonesia. Betapa rajin dan giat pengguna internet di media sosial. Fakta ini senada dengan paparan Hasan Chabibie dari Pustekkom dalam diskusi tersebut, ia memaparkan soal "hate spin" atau pelintiran kebencian merajalela di media sosial kita. Mengutip laporan Tetra Pak Index 2017, Hasan menyatakan 132 juta pengguna internet di Indonesia , 40 persennya gila media sosial.
Fakta ini tentu memprihatinkan, berbanding terbalik dengan laporan UNESCO tentang tingkat literasi kita. Menurut UNESCO, Indonesia berada di posisi 60 dari 61 negara dengan literasi rendah. Bisa jadi kemalasan kita membaca, apalagi menulis menjadi biang kegagalan kita menyaring informasi dari media sosial.
Dari titik ini saya bisa mendapatkan pencerahan, mengapa warganet mudah sekali terprovokasi oleh konten "hate spin" di media sosial. Gampangnya, kebanyakan pengguna internet di Indonesia mudah menelan mentah - mentah informasi di media sosial tanpa menyaring terlebih dahulu.
Dalam diskusi yang diikuti berbagai elemen masyarakat ini terkuak, semua pihak memprihatinkan kondisi sosial kita, terutama berkait konten radikalisme di media sosial. Dr. Iriani Sophiaan, M.Si, Forum Bela Negara Alumni UI, memberikan definisi tentang terminologi ini. Menurut Iriani, radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan politik dan sosial sampai ke akar - akarnya secara ekstrim dan menggunakan kekerasan.
Saya langsung bisa mengerti setelah mendapatkan definisi ini, dan dapat membedakan konten di media sosial yang berkait dengan faham radikal atau bukan. Postingan kekerasan non-verbal dalam format teks, gambar dan video belakangan yang berseliweran di "timeline" Twitter dan Facebook sangat memprihatinkan.
Pengguna internet kita yang masih rendah dalam menyaring informasi rentan terpengaruh oleh konten - konten seperti itu. Iriani juga memaparkan tentang tingkat keterpengaruhan ajaran radikal dari waktu - waktu di Indonesia terus naik.
Menurut Iriani, kaderisasi kelompok penganut radikalisme sudah dilakukan bertahun - tahun (5 - 6 tahun) dan grafik-nya terus meningkat. 5 tahun lalu, dari 20 anak satu diantaranya terpapar ajaran radikalisme, tahun 2017 sampai sekarang menjadi 1 dari 5 anak.
Paparan penggiat Bela Negara ini senada dengan pernyataan Kepala BNPT, Komjen Pol. Suhardi Alisius yang dimuat di media massa (Republika 13 Februari 2018), penyebaran faham radikal sudah mengkuatirkan, menyusup secara sistimatik ke sistim kenegaraan, instansi - instansi pendidikan termasuk perguruan tinggi.
Penyebaran paham radikalisme dan rekrutmen kader dilakukan berbagai metode, antara lain metode seperti MLM dan media sosial. Ironisnya media sosial ini digandrungi kalangan muda, termasuk dari 40 persen pengguna internet yang aktif di media sosial. Metode penganut paham radikal menggunakan metode Goebbels yang saya tulis di awal tulisan ini.
Labels: media sosial, sosial