Imunisasi Vaksin Penyembuh Utama Difteri, Ini Alasannya !




Belakangan beredar info di media sosial dan internet bahwa vaksin imunisasi Difteri berbahaya dan tidak sah secara agaima. Ternyata info ini banyak  dipercaya  oleh warganet. 

Info ini bersumber dari seorang Dokter bernama Bernard Mahfoundz yang diklaim sebagai 
Ahli Vaksin. Padahal  jejak - jejak penelitian ilmiah Dokter minim dan diragukan validitas. 

Validitas klaim ahli Vaksin itu dibantah oleh Dr. Sudjatmiko, Spesialis dan Dosen FK UI mengatakan, riset dokter ini menggunakan sampel 12 orang, dan mengklaim vaksin bisa memicu penyakit Autis pada penerima suntikan vaksin.

Bila klaim tersebut valid, tentu di seluruh Indonesia akan muncul endemi penyakit baru, faktanya tidak demikian.




"220  ribu bidan di seluruh Indonesia tiap hari melakukan imunisasi, tidak ada masalah dan seluruh negara di dunia melakukan imunisasi dengan vaksin", tegas Pengajar FK UI tersebut.

Munculnya  gerakan "anti-vaksin" berkait dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri. Penyakit ini sendiri telah menyerang ke 30 Propinsi  tahun 2017 lalu, sebagai respon Kemenkes melakukan "Outbreak Response Immnization" (ORI) atau imunisasi massal di seluruh Indonesia.  

Gerakan penolakan ini di media sosial ini beralasan obat Vaksin itu dapat menimbulkan penyakit lain pada tubuh. Mereka berpendapat Difteri dapat diobati dengan obat - obat Herbal atau Air Susu Ibu. Selain soal kehalalan dari bahan vaksin yang diragukan.

Munculnya pro - kontra menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Apalagi penentang imunisasi ini juga didukung  beberapa Dokter lokal.

Benarkah pengobatan Difteri cukup dengan obat herbal atau Air Susu Ibu (ASI) ?  

Dokter Sudjatmiko, Dokter Spesialis Anak dalam forum diskusi di Forum Merdeka Barat 9 lalu mengatakan pendapat-pendapat itu tidak tepat. 

"Obat Herbal dan ASI tidak bisa membunuh kuman penyebab Difteri yang menghasilkan racun berbahaya", jelasnya. 

Menurut Dosen Kedokteran FK UI ini, negara - negara yang dikenal sebagai ahli Herbal yakni Cina, India dan Brasil menggunakan Vaksin untuk menanggulangi Difteri. 

Lebih lanjut Dr. Sudjatmiko mengatakan, Herbal tidak akan membunuh kuman Difteri, fungsinya hanya seperti pagar. Sedangkan Vaksin adalah tameng sekaligus pembunuh kuman Difteri. 

Koordinasi dari Kemenkes ke Dinas Kesehatan di daerah soal gejala penyebaran Difteri sudah diupayakan sejak bulan Januari, April 2017. 

Dalam era pemerintahan otonomi daerah, Kemenkes tidak bisa melakukan ORI  besar - besaran bila tidak didukung oleh Dinas Kesehatan dan Pemda setempat. 

"Saya sudah berkali - kali mengusulkan ORI lewat Whatsapp Grup Dinas - DInas Kesehatan seluruh Indonesia", ujar Menteri Kesehatan, Nila Moeloek kepada media dan pers dalam Forum Merdeka Barat 9 (12/01).

Kendala Birokrasi

KLB Difteri menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, terutama pemerintah dalam mengkoordinasikan penanganan. Masih ada anggapan bahwa tugas dan tanggung jawab kasus - kasus seperti ini semata - mata tanggung jawab Pemerintah Pusat.

Secara organisasi pemerintahan, Pemda memegang peran penting dalam penanganan kasus di wilayahnya. Sejak pemberlakukan sistim otonomi daerah, wewenang pemerintah pusat tidak lagi sebesar saat masih bersistim sentralistik.

Menurut Yanuar Nugroho, Deputy II Kantor Staf Presiden, koordinasi lintas kementerian dan Lembaga, antara pemerintah dengan masyarakat sudah wajib. Tidak bisa lagi tidak ada hubungan dan koordinasi.

"Ancaman kesehatan telah menjadi fokus utama oleh sejumlah negara di dunia, yakni bagaimana pemerintah mewajibkan masuk sekolah dan pesantren dengan salah satu syarat kartu kesehatan dan imunisasi. Apapun ancaman itu akan 'kalang kabut' kalau tidak ada koordinasi yang baik", tegas Yanuar.

Untuk itu, mantan Dosen ini menyarankan agar Kemenkes secara besar - besaran memasang nomor  'care center' di media dan media sosial agar masyarakat mudah mendapat info soal imunisasi dan vaksin.

Bahaya Difteri

Penyakit Difteri bukan penyakit langka di Indonesia, endemi serupa pernah muncul di  Jawa Timur beberapa tahun lalu. Wabah endemi kini bisa meluas sampai ke 30 Propinsi  salah satu penyebabnya adalah 'mobilitas manusia' yang makin mudah dan cepat.

Meski Kemenkes dan Dinas Kesehatan sudah melakukan ORI di seluruh Indonesia tapi untuk mencegah penderita Difteri berpergian sulit. 

Akhirnya Difteri menjadi persoalan hilir saja, padahal kontribusi dari sektor hulu dan variabel lain cukup besar mendorong endemi ini. 

Untuk mencegah wabah lebih luas, keluarga adalah tameng pertama di sektor hulu. Terutama keluarga yang mempunyai anak usia sekolah dasar yang tiap hari berinteraksi dengan siswa lain di sekolah.

Penularan Difteri sangat mudah, yakni lewat   bersin dan ludah. Bila dalam satu lingkungan kelas ada yang terjangkit Difteri, seluruh siswa di kelas beresiko tertular.

Para orang tua diharapkan peduli mencegah anak - anak terjangkiti. Gejala - gejala Difteri secara umum
  • Suhu badan kurang lebih 38 derajat
  • Ada bercak - bercak putih di langit - langit rongga mulut, bila dicongkel akan menimbulkan pendarahan
  • Tenggorakan susah menelan makanan 
  •  Sesak nafas
  •  Leher Bengkak
Kuman Difteri sangat berbahaya karena memproduksi racun / toksin yang bisa merusak jantung. Pada penderita Difteri akut beresiko meninggal dalam waktu 6 hari. 

Untuk mencegah Difteri, Dr. Sudjatmiko yang berpengalaman dalam endemi Difteri di Jawa Timur tahun 2012 menyarankan sebagai berikut :
  1. Orang tua yang mempunyai anak - anak kecil agar memeriksa rongga mulutnya. Bila ada gejala putih - putih di langit - langitnya langsung bawa ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan terdekat.
  2. ORI atau penyuntikan vaksin anti-Difteri secara massal untuk anak - anak meski mereka sudah tercatat di-imunisasi lengkap sebelumnya. Minimal 3 kali (sebulan sekali) pemberian vaksin anti Difteri untuk anak - anak yang masih sehat.  Diharapkan anak - anak sebelum lulus SD sudah lengkap agar tidak menjadi pembawa kuman.
  3. Penyuntikan secara mandiri untuk orang dewasa juga 3 kali, dalam satu bulan satu kali suntik. Terutama bagi orang dewasa kelahiran sebelum tahun 1978 yang belum pernah mendapat imunisasi.
Soal kehalalan vaksin, hingga saat ini MUI tidak melarang pemberian vaksin. Apalagi vaksin Difteri diproduksi oleh Bio Farma, BUMN yang telah mengekspor ke 136 negara, sekitar 50 negara adalah negara Islam.

*Disarikan dari Forum Merdeka Barat 9, 12 Januari 2018

Labels:

body { background:#aba; margin:0; padding:20px 10px; text-align:center; font:x-small/1.5em "Trebuchet MS",Verdana,Arial,Sans-serif; color:#333; font-size/* */:/**/small; font-size: /**/small; } /* Page Structure ----------------------------------------------- */ /* The images which help create rounded corners depend on the following widths and measurements. If you want to change these measurements, the images will also need to change. */ @media all { #content { width:740px; margin:0 auto; text-align:left; } #main { width:485px; float:left; background:#fff url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_main_bot.gif") no-repeat left bottom; margin:15px 0 0; padding:0 0 10px; color:#000; font-size:97%; line-height:1.5em; } #main2 { float:left; width:100%; background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_main_top.gif") no-repeat left top; padding:10px 0 0; } #main3 { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/rails_main.gif") repeat-y; padding:0; } #sidebar { width:240px; float:right; margin:15px 0 0; font-size:97%; line-height:1.5em; } } @media handheld { #content { width:90%; } #main { width:100%; float:none; background:#fff; } #main2 { float:none; background:none; } #main3 { background:none; padding:0; } #sidebar { width:100%; float:none; } } /* Links ----------------------------------------------- */ a:link { color:#258; } a:visited { color:#666; } a:hover { color:#c63; } a img { border-width:0; } /* Blog Header ----------------------------------------------- */ @media all { #header { background:#456 url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_cap_top.gif") no-repeat left top; margin:0 0 0; padding:8px 0 0; color:#fff; } #header div { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_cap_bot.gif") no-repeat left bottom; padding:0 15px 8px; } } @media handheld { #header { background:#456; } #header div { background:none; } } #blog-title { margin:0; padding:10px 30px 5px; font-size:200%; line-height:1.2em; } #blog-title a { text-decoration:none; color:#fff; } #description { margin:0; padding:5px 30px 10px; font-size:94%; line-height:1.5em; } /* Posts ----------------------------------------------- */ .date-header { margin:0 28px 0 43px; font-size:85%; line-height:2em; text-transform:uppercase; letter-spacing:.2em; color:#357; } .post { margin:.3em 0 25px; padding:0 13px; border:1px dotted #bbb; border-width:1px 0; } .post-title { margin:0; font-size:135%; line-height:1.5em; background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/icon_arrow.gif") no-repeat 10px .5em; display:block; border:1px dotted #bbb; border-width:0 1px 1px; padding:2px 14px 2px 29px; color:#333; } a.title-link, .post-title strong { text-decoration:none; display:block; } a.title-link:hover { background-color:#ded; color:#000; } .post-body { border:1px dotted #bbb; border-width:0 1px 1px; border-bottom-color:#fff; padding:10px 14px 1px 29px; } html>body .post-body { border-bottom-width:0; } .post p { margin:0 0 .75em; } p.post-footer { background:#ded; margin:0; padding:2px 14px 2px 29px; border:1px dotted #bbb; border-width:1px; border-bottom:1px solid #eee; font-size:100%; line-height:1.5em; color:#666; text-align:right; } html>body p.post-footer { border-bottom-color:transparent; } p.post-footer em { display:block; float:left; text-align:left; font-style:normal; } a.comment-link { /* IE5.0/Win doesn't apply padding to inline elements, so we hide these two declarations from it */ background/* */:/**/url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/icon_comment.gif") no-repeat 0 45%; padding-left:14px; } html>body a.comment-link { /* Respecified, for IE5/Mac's benefit */ background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/icon_comment.gif") no-repeat 0 45%; padding-left:14px; } .post img { margin:0 0 5px 0; padding:4px; border:1px solid #ccc; } blockquote { margin:.75em 0; border:1px dotted #ccc; border-width:1px 0; padding:5px 15px; color:#666; } .post blockquote p { margin:.5em 0; } /* Comments ----------------------------------------------- */ #comments { margin:-25px 13px 0; border:1px dotted #ccc; border-width:0 1px 1px; padding:20px 0 15px 0; } #comments h4 { margin:0 0 10px; padding:0 14px 2px 29px; border-bottom:1px dotted #ccc; font-size:120%; line-height:1.4em; color:#333; } #comments-block { margin:0 15px 0 9px; } .comment-data { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/icon_comment.gif") no-repeat 2px .3em; margin:.5em 0; padding:0 0 0 20px; color:#666; } .comment-poster { font-weight:bold; } .comment-body { margin:0 0 1.25em; padding:0 0 0 20px; } .comment-body p { margin:0 0 .5em; } .comment-timestamp { margin:0 0 .5em; padding:0 0 .75em 20px; color:#666; } .comment-timestamp a:link { color:#666; } .deleted-comment { font-style:italic; color:gray; } .paging-control-container { float: right; margin: 0px 6px 0px 0px; font-size: 80%; } .unneeded-paging-control { visibility: hidden; } /* Profile ----------------------------------------------- */ @media all { #profile-container { background:#cdc url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_prof_bot.gif") no-repeat left bottom; margin:0 0 15px; padding:0 0 10px; color:#345; } #profile-container h2 { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_prof_top.gif") no-repeat left top; padding:10px 15px .2em; margin:0; border-width:0; font-size:115%; line-height:1.5em; color:#234; } } @media handheld { #profile-container { background:#cdc; } #profile-container h2 { background:none; } } .profile-datablock { margin:0 15px .5em; border-top:1px dotted #aba; padding-top:8px; } .profile-img {display:inline;} .profile-img img { float:left; margin:0 10px 5px 0; border:4px solid #fff; } .profile-data strong { display:block; } #profile-container p { margin:0 15px .5em; } #profile-container .profile-textblock { clear:left; } #profile-container a { color:#258; } .profile-link a { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/icon_profile.gif") no-repeat 0 .1em; padding-left:15px; font-weight:bold; } ul.profile-datablock { list-style-type:none; } /* Sidebar Boxes ----------------------------------------------- */ @media all { .box { background:#fff url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_side_top.gif") no-repeat left top; margin:0 0 15px; padding:10px 0 0; color:#666; } .box2 { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_side_bot.gif") no-repeat left bottom; padding:0 13px 8px; } } @media handheld { .box { background:#fff; } .box2 { background:none; } } .sidebar-title { margin:0; padding:0 0 .2em; border-bottom:1px dotted #9b9; font-size:115%; line-height:1.5em; color:#333; } .box ul { margin:.5em 0 1.25em; padding:0 0px; list-style:none; } .box ul li { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/icon_arrow_sm.gif") no-repeat 2px .25em; margin:0; padding:0 0 3px 16px; margin-bottom:3px; border-bottom:1px dotted #eee; line-height:1.4em; } .box p { margin:0 0 .6em; } /* Footer ----------------------------------------------- */ #footer { clear:both; margin:0; padding:15px 0 0; } @media all { #footer div { background:#456 url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_cap_top.gif") no-repeat left top; padding:8px 0 0; color:#fff; } #footer div div { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_cap_bot.gif") no-repeat left bottom; padding:0 15px 8px; } } @media handheld { #footer div { background:#456; } #footer div div { background:none; } } #footer hr {display:none;} #footer p {margin:0;} #footer a {color:#fff;} /* Feeds ----------------------------------------------- */ #blogfeeds { } #postfeeds { padding:0 15px 0; }

Friday, 12 January 2018

Imunisasi Vaksin Penyembuh Utama Difteri, Ini Alasannya !




Belakangan beredar info di media sosial dan internet bahwa vaksin imunisasi Difteri berbahaya dan tidak sah secara agaima. Ternyata info ini banyak  dipercaya  oleh warganet. 

Info ini bersumber dari seorang Dokter bernama Bernard Mahfoundz yang diklaim sebagai 
Ahli Vaksin. Padahal  jejak - jejak penelitian ilmiah Dokter minim dan diragukan validitas. 

Validitas klaim ahli Vaksin itu dibantah oleh Dr. Sudjatmiko, Spesialis dan Dosen FK UI mengatakan, riset dokter ini menggunakan sampel 12 orang, dan mengklaim vaksin bisa memicu penyakit Autis pada penerima suntikan vaksin.

Bila klaim tersebut valid, tentu di seluruh Indonesia akan muncul endemi penyakit baru, faktanya tidak demikian.




"220  ribu bidan di seluruh Indonesia tiap hari melakukan imunisasi, tidak ada masalah dan seluruh negara di dunia melakukan imunisasi dengan vaksin", tegas Pengajar FK UI tersebut.

Munculnya  gerakan "anti-vaksin" berkait dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri. Penyakit ini sendiri telah menyerang ke 30 Propinsi  tahun 2017 lalu, sebagai respon Kemenkes melakukan "Outbreak Response Immnization" (ORI) atau imunisasi massal di seluruh Indonesia.  

Gerakan penolakan ini di media sosial ini beralasan obat Vaksin itu dapat menimbulkan penyakit lain pada tubuh. Mereka berpendapat Difteri dapat diobati dengan obat - obat Herbal atau Air Susu Ibu. Selain soal kehalalan dari bahan vaksin yang diragukan.

Munculnya pro - kontra menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Apalagi penentang imunisasi ini juga didukung  beberapa Dokter lokal.

Benarkah pengobatan Difteri cukup dengan obat herbal atau Air Susu Ibu (ASI) ?  

Dokter Sudjatmiko, Dokter Spesialis Anak dalam forum diskusi di Forum Merdeka Barat 9 lalu mengatakan pendapat-pendapat itu tidak tepat. 

"Obat Herbal dan ASI tidak bisa membunuh kuman penyebab Difteri yang menghasilkan racun berbahaya", jelasnya. 

Menurut Dosen Kedokteran FK UI ini, negara - negara yang dikenal sebagai ahli Herbal yakni Cina, India dan Brasil menggunakan Vaksin untuk menanggulangi Difteri. 

Lebih lanjut Dr. Sudjatmiko mengatakan, Herbal tidak akan membunuh kuman Difteri, fungsinya hanya seperti pagar. Sedangkan Vaksin adalah tameng sekaligus pembunuh kuman Difteri. 

Koordinasi dari Kemenkes ke Dinas Kesehatan di daerah soal gejala penyebaran Difteri sudah diupayakan sejak bulan Januari, April 2017. 

Dalam era pemerintahan otonomi daerah, Kemenkes tidak bisa melakukan ORI  besar - besaran bila tidak didukung oleh Dinas Kesehatan dan Pemda setempat. 

"Saya sudah berkali - kali mengusulkan ORI lewat Whatsapp Grup Dinas - DInas Kesehatan seluruh Indonesia", ujar Menteri Kesehatan, Nila Moeloek kepada media dan pers dalam Forum Merdeka Barat 9 (12/01).

Kendala Birokrasi

KLB Difteri menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, terutama pemerintah dalam mengkoordinasikan penanganan. Masih ada anggapan bahwa tugas dan tanggung jawab kasus - kasus seperti ini semata - mata tanggung jawab Pemerintah Pusat.

Secara organisasi pemerintahan, Pemda memegang peran penting dalam penanganan kasus di wilayahnya. Sejak pemberlakukan sistim otonomi daerah, wewenang pemerintah pusat tidak lagi sebesar saat masih bersistim sentralistik.

Menurut Yanuar Nugroho, Deputy II Kantor Staf Presiden, koordinasi lintas kementerian dan Lembaga, antara pemerintah dengan masyarakat sudah wajib. Tidak bisa lagi tidak ada hubungan dan koordinasi.

"Ancaman kesehatan telah menjadi fokus utama oleh sejumlah negara di dunia, yakni bagaimana pemerintah mewajibkan masuk sekolah dan pesantren dengan salah satu syarat kartu kesehatan dan imunisasi. Apapun ancaman itu akan 'kalang kabut' kalau tidak ada koordinasi yang baik", tegas Yanuar.

Untuk itu, mantan Dosen ini menyarankan agar Kemenkes secara besar - besaran memasang nomor  'care center' di media dan media sosial agar masyarakat mudah mendapat info soal imunisasi dan vaksin.

Bahaya Difteri

Penyakit Difteri bukan penyakit langka di Indonesia, endemi serupa pernah muncul di  Jawa Timur beberapa tahun lalu. Wabah endemi kini bisa meluas sampai ke 30 Propinsi  salah satu penyebabnya adalah 'mobilitas manusia' yang makin mudah dan cepat.

Meski Kemenkes dan Dinas Kesehatan sudah melakukan ORI di seluruh Indonesia tapi untuk mencegah penderita Difteri berpergian sulit. 

Akhirnya Difteri menjadi persoalan hilir saja, padahal kontribusi dari sektor hulu dan variabel lain cukup besar mendorong endemi ini. 

Untuk mencegah wabah lebih luas, keluarga adalah tameng pertama di sektor hulu. Terutama keluarga yang mempunyai anak usia sekolah dasar yang tiap hari berinteraksi dengan siswa lain di sekolah.

Penularan Difteri sangat mudah, yakni lewat   bersin dan ludah. Bila dalam satu lingkungan kelas ada yang terjangkit Difteri, seluruh siswa di kelas beresiko tertular.

Para orang tua diharapkan peduli mencegah anak - anak terjangkiti. Gejala - gejala Difteri secara umum
  • Suhu badan kurang lebih 38 derajat
  • Ada bercak - bercak putih di langit - langit rongga mulut, bila dicongkel akan menimbulkan pendarahan
  • Tenggorakan susah menelan makanan 
  •  Sesak nafas
  •  Leher Bengkak
Kuman Difteri sangat berbahaya karena memproduksi racun / toksin yang bisa merusak jantung. Pada penderita Difteri akut beresiko meninggal dalam waktu 6 hari. 

Untuk mencegah Difteri, Dr. Sudjatmiko yang berpengalaman dalam endemi Difteri di Jawa Timur tahun 2012 menyarankan sebagai berikut :
  1. Orang tua yang mempunyai anak - anak kecil agar memeriksa rongga mulutnya. Bila ada gejala putih - putih di langit - langitnya langsung bawa ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan terdekat.
  2. ORI atau penyuntikan vaksin anti-Difteri secara massal untuk anak - anak meski mereka sudah tercatat di-imunisasi lengkap sebelumnya. Minimal 3 kali (sebulan sekali) pemberian vaksin anti Difteri untuk anak - anak yang masih sehat.  Diharapkan anak - anak sebelum lulus SD sudah lengkap agar tidak menjadi pembawa kuman.
  3. Penyuntikan secara mandiri untuk orang dewasa juga 3 kali, dalam satu bulan satu kali suntik. Terutama bagi orang dewasa kelahiran sebelum tahun 1978 yang belum pernah mendapat imunisasi.
Soal kehalalan vaksin, hingga saat ini MUI tidak melarang pemberian vaksin. Apalagi vaksin Difteri diproduksi oleh Bio Farma, BUMN yang telah mengekspor ke 136 negara, sekitar 50 negara adalah negara Islam.

*Disarikan dari Forum Merdeka Barat 9, 12 Januari 2018

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home