
Kehadiran media sosial Facebook (FB) tak dipungkiri memberikan warna baru dunia media. Dengan segala kelebihannya, Facebook mampu merekatkan hubungan sosial tanpa terhalang jarak dan waktu.
Belakangan jaringan pertemanan ini tak lagi digunakan secara silaturahmi sosial, namun juga untuk kepentingan komersial, juga politik.
Pengelompokan lewat grup ikatan sekolah, daerah, kantor, bisnis dan keagamaan dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Belakangan sejumlah kelompok radikal memanfaatkan FB untuk sosialisasi ideologinya, bahkan untuk merekrut anggota dari berbagai belahan dunia.
Tak heran pengelola FB cukup kerepotan menghadapi kelompok-kelompok berideologi radikal ini. Mau tidak mau FB melakukan sensor terhadap postingan yang dianggap berbahaya. Tak hanya FB sebenarnya, Twitter pun bertindak sama.
Dampaknya tidak semua pemilik account FB mendukung. Kelompok yang kepentingannya terganggu berupaya memojok FB dengan dalih beraneka ragam, bahkan mendemo kantor perwakilan FB.
Apakah sudah tepat tindakan Facebook ?
Dari kacamata pengelola, tindakan sensor ketat terhadap konten - konten anti - sosial atau provokasi negatif adalah paling tepat.
Sebagai entitas bisnis dengan anggota ratusan juta pengguna, Facebook berusaha melindungi anggota komunitasnya.
Bisa dibayangkan bila kelompok - kelompok radikal memproduksi pesan-pesan negatif terus - menerus, pasti akan menimbulkan ketidaknyaman bagi yang tidak sepaham. Pada akhirnya, platform ini akan ditinggalkan pengguna.
Sejak kehadiran berbagai platform media sosial, FB tak lagi dominan. Di negara Cina dengan pengguna internet terbesar, FB masih dilarang masuk.
Tentu FB tak mau berspekulasi dengan memihak kelompok radikal dan intoleran. Pasti negara - negara dengan pengguna FB terbanyak seperti Indonesia akan menghambatnya.
Kompromi dengan penguasa adalah sikap realistis FB sebagai perusahaan. Intinya, FB pasti akan berpihak kepada mayoritas dan penguasa di negara mana pun.
Satu - satunya cara agar pesan diterima secara massal tanpa disensor adalah membuat platform seperti di Cina. Semua platform media sosial di Cina dikendalikan pemerintah. Akhirnya kebebasan netizen di negeri Tirai Bambu itu terbatas.
Mampukah membuat platform sebesar Facebook saat ini? Bila ingin platform bebas sensor rasa akan sulit, semakin besar sebuah platform makin kuat kebijakan menyensor konten.
Labels: media sosial