
Pelayanan Kesehatan adalah hak setiap warga negara yang hidup di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Faktanya belum semua WNI memperoleh akses sama terhadap layanan dan fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah dan swasta.
Mengapa masyarakat yang tinggal di perkotaan terutama kalangan bawah pun masih sulit mengakses layanan dan fasilitas kesehatan ?
Jawabannya adalah "biaya !"
Faktor "biaya" adalah salah satu penghalang pasien dan calon pasien memeriksakan kesehatan. Seperti kita tahu, biaya pengobatan tidaklah murah, apalagi untuk penyakit kelas berat.
Sesungguhnya saat ini soal biaya pengobatan tak perlu dirisaukan, sudah ada fasilitas Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari pemerintah. Dimana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai operatornya.
Dalam paparan BPJS di awal tahun 2018 lalu, jumlah peserta program Jaminan Kesehatan Sosial ini tercatat 187,9 juta. Capaian cukup besar untuk sebuah program yang baru berumur 3 tahun. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai direalisasi secara nasional pada tahun 2014 dengan peserta awal adalah peserta jaminan kesehatan ASN, ABRI, dan jamsostek berjumlah 121 juta.
Menariknya, sampai saat ini baru 3 propinsi mengimplementasi program JKN dengan capain 95% warganya memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS), yakni DKI Jakarta, Aceh dan Gorontalo. Padahal masih ada 30 propinsi lain, mengapa belum tercapai targetnya ?
Target ini tertuang dalam RPJMN Tahun 2014 - 2019 Buku I, yakni " "Meningkatnya presentasi penduduk yang menjadi peserta Jaminan Kesehatan melalui Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Bidang Kesehatan, minimal 95% pada tahun 2019. Inilah makna tercapainya Universal Health Care (UHC) bila peserta JKN-KIS mencapai 95% WNI.
Program JKN-KIS tidak akan bisa merata dan dinikmati oleh WNI selama menggantungkan pada pemerintah pusat. Partisipasi Pemerintah Daerah sangat penting untuk pemerataan layanan kesehatan semesta.

Seperti kita ketahui, kepesertaan JKN terdiri atas 2 kategori berdasar sifat premi (iuran). Pertama, premi dibayar oleh perusahaan / individu, kedua oleh pemerintah / pemerintah daerah untuk warga tidak mampu. Kategori pertama ini masih banyak mendapatkan kendala, belum semua perusahaan / WNI mengikuti program BPJS. Kategori kedua adalah tanggung jawab Pemda, dimana berkewajiban membantu warga kurang mampu di wilayahnya agar mampu mendapat layanan kesehatan.
Pekerjaan Pemda tidaklah mudah, sebab harus mengalokasikan anggaran rutin di dalam APBD untuk pos pengeluaran ini. Namu bila Pemda memiliki komitmen kuat, bukan tidak mungkin program kesehatan masyarakat ini dapat terealisasi.
Secara stastistik pengeluaran dana memang cukup besar untuk daerah - daerah dengan jumlah penduduk besar, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meski begitu kendala dana dapat disiasati demi terwujudnya 95% warganya memiliki akses layanan kesehatan.
Tugas Pemda tidak hanya menalangi iuran KIS bagi warga tidak mampu, tapi juga mendorong perusahaan dan masyarakat menjadi peserta KIS secara mandiri. Disinilah inisiatif Pemda ditantang untuk lebih kreatif menggerakan calon - calon peserta KIS secara mandiri.
Agar dapat berhasil merangkul lebih peserta BPJS, semau "stake holder" saling bergandeng tangan mewujudkan Indonesia Sehat.
Labels: review