Mungkin judul ini terlalu provokatif, terutama bagi mereka
yang berpenghasilan tinggi, saya anggap 10 juta ke atas, namun akan dibenarkan
oleh merek a dengan penghasil di bawah 10 juta. Boros dan tidaknya pengeluaran
uang tergantung dari prioritas dan hasil dari uang dibelanjakan. Pengeluaran
akan menjadi boros bila kita membeli gadget seharga 10 juta, padahal
penghasilan kita dibawah nilai itu.
Kecuali kita mendapat hadiah dari kantor atau kekasih, itu beda lagi, namun
banyak saat ini dengan modal kartu kredit, pegawai kantoran berlomba memiliki gadget – gadget terkini,
yang menjadi buruan adalah logo apel kroak yang menjadi simbol gengsi sosialita di kota –kota besar.
Tak mengapa kalau memang memiliki kemampuan membeli, sah –
sah saja selama gadget itu dibeli secara halal. Memliki gadget, tidak sekedar
punya, tapi juga harus ada kuota internetnya, percuma saja bila menenteng Hape
seharga di atas 10 juta tapi tidak punya kuota, hanya bisa buat telepon. Bila
soal langganan paket internet tidak menjadi soal, yang menjadi soal adalah beli
kuotanya, mengapa? Saat ini aplikasi – aplikasi game, socmed, video vlog,
youtube bukan rahasia lagi adalah pemangsa kuota internet gadget kita.
Kalau di kantor bisa nebeng sama jaringan Wi Fi kantor,
kalau di rumah bisa pakai jaringan internet yang biasanya menyatu dengan TV
Kabel, repotnya kalau di jalan, perjalanan dari kantor menuju rumah atau
sebaliknya menjadi tidak asyik kalau tidak buka – buka socmed, chatting, kalau
capek dengerin musik sampai terkantuk. Ini biasa terjadi di moda transportasi
massal di Jakarta, Commuter Line dan Busway.
Pada jaman dulu, kedua moda transportasi darat itu
berpenumpang majemuk, ada pelajar, karyawan, tukang, pedagang, dll, namun saat
ini terlihat homogen, rata-rata karyawan kantor ,pegawai negeri, mahasiswa,
pokoknya bau mereka wangi kalau pagi. Kalau sore , jam pulang kantor, penumpang
kedua transportasi massal tersebut ditumpangi oleh penumpang yang tadi pagi.
Sudah menjadi sebuah rutinas bagi sebagian penduduk Jakarta, Bogor, Bekasi dan Tangerang.
Menariknya, dalam moda transportasi tersebut di jam – jam pagi,
meski padat, tapi tidak panas suhu dalam ruangan karena gencarnya tiupan AC.
Penumpang ada yang duduk, berdiri, bersandar di tiang, namun ada kesamaan,
hampir semua sibuk mengotak – atik gadget mereka. Seakan tidak peduli dengan
sekeliling mereka, yang mereka pedulikan hanya suara dari voice over busway
atau commuter line tentang halte atau stasiun kereta api yang akan mereka tuju.
Sebuah gambaran gaya hidup di era digital, dimana kebanyakan
waktu luang anggota masyarakat digunakan untuk smembaca, chatting, belanja
online. Sebuah survei menyatakan bahwa rata – rata waktu yang dihabis pengguna
ponsel pintar di Indonesia adalah 129 menit per hari, dalam kurun waktu itu
bermacam – macam aktivitas dilakukan. Sekitar 2 jam perhari, jadi bisa dikatakan
setiap satu jam pengguna ponsel menilik ponselnya selama 5 menit. Disinilah
yang dimaksudkan dengan pemborosan, yakni pemborosan waktu, pada banyak
aktifitas produktif lainnya bisa dilakukan, tidak sekedar memeloti “smartphone”. Lalu berapa belanja pulsa pengguna “smartphone” untuk gadgetnya untuk
internet dan telepon. Gambaranya bisa dbaca di tulisan Kompasianer berjudul “Pengeluaran
Pulsa Lebih Besar daripada Beli Buku Kuliah “ (Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/leo4kusuma/pengeluaran-pulsa-lebih-besar-daripada-beli-buku-kuliah_550192fca3331198145116db).
Bila pengeluaran pulsa sudah melebihi anggaran
kebutuhan primer, sungguh sebuah pemborosan yang tak termaafkan, lain kasusnya
bila pengeluaran pulsa tersebut untuk kepentingan produktif, seperti kegiatan
marketing, atau kegiatan bisnis. Untuk mereka yang sudah bekerja atau sudah
berpenghasilan bukan sebuah persoalan, lalu bagaimana mereka yang masih pelajar
dan kuliah, saat ini pelajar dan mahasiswa sudah dibekali smartphone oleh orang
tuanya?
Labels: gaya hidup