Perguruan tinggi, sebuah institusi pendidikan yang menghasil tenaga terdidik dan intelektual, para lulusannya diharapkan mengisi jabatan - jabatan menengah di sebuah perusahaan swasta atau institusi pemerintah. Apakah kenyataannya seperti itu ? Bila melihat fenomena pameran kerja atau "Job Fair" selalu dipenuhi dengan peminat dari berbagai perguruan tinggi, terutama dari kalangan "fresh graduate", yang sudah lulus beberapa tahun tapi belum mendapatkan pekerjaan, atau yang sudah bekerja tapi ingin mencari posisi dan kesejahteraan yang lebih di perusahaan lain. Itu semua, sah - sah saja, setiap warga berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Sebentar lagi moment ritual tahunan berlangsung, yaitu mudik, sebuah pergerakan manusia dengan jumlah cukup besar dari satu titik ke titik yang lain.
Besaran jumlah pemudik menunjukkan arus urbanisasi yang begitu besar di tanah air dari tahun ke tahun, apalagi dalam arus balik jumlah itu akan meningkat. Kota - kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, Surabaya akan bertambah warga baru yang tidak tercatat, mereka bersaing mendapatkan kehidupan yang layak. Bagi yang beruntung, mempunyai saudara yang berpengaruh tidaklah sulit mendapatkan pekerjaan, tapi bagi yang kurang beruntung, meski menenteng ijasah sarjana tidak mudah mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
Beberapa prosentasi tingkat pendidikan pada saat arus balik, mungkin hal ini perlu diteliti lebih lanjut, tapi yang jelas persaingan mendapatkan pekerjaan menjadi makin sengit di level bawah dan menengah. Keberuntungan hanya menghampiri beberapa orang, tidak semua di pihak "Dewi Fortuna". Walikota Tangsel, Airin dalam sebuah acara Nangkring Kompasianer Bersama BKKBN mengungkapkan, bahwa warga Tangsel sekarang berjumlah lebih dari 1 juta jiwa, 40 persen adalah para pendatang yang bisa jadi pindah rumah di kawasan Tangsel. Sebagai pejabat negara, Airin tidak bisa membatasi migrasi tersebut, menurutnya ini wilayah NKRI semua warga negara Indonesia berhak tinggal di mana saja di wilayah NKRI.
Betul sekali pendapat Ibu Airin tersebut, dan penulis juga mendukungnya. Namun juga perlu dicermati adalah "Daya Dukung" dan " Daya Tampung" wilayah yang dituju terkadang tidak mendukung, seperti sarana perumahan, sumber mata pencaharian sehingga menimbulkan dampak sosial serius di beberapa wilayah Sub Urban. Terkait dengan lulusan sarjana, penulis memperhatikan bahwa masih terjadi kesalahan berpikir di kalangan lulusan PT, bahwa lulusan PT adalah paspor cepat mendapatkan pekerjaan yang layak, sebaliknya hal itu tidak menjamin sama sekali. Lulusan PT dari berbagai wilayah di Indonesia bisa jadi masuk ke kota - kota besar dalam gelombang besar pada saat arus balik ini, dengan paradigma berpikir harus bekerja untuk mempertahankan hidup kadang membuat pikiran tertekan.
Disinilah penulis melihat terjadi kesenjangan cukup besar. Alangkah baiknya bila lulusan PT ini sebelum lulus dibekali "enterpreanurship" sehingga mereka siap menghadapi kenyataan hidup yang sering tidak bersahabat. Di era informasi digita dan internet, "enterpreanurship" adalah sebuah solusi yang cukup manjur untuk membangun kemandirian bangsa, mengurangi pengangguran, mengurasngi dampak sosiall yang negatif akibat ledakan pengangguran di dalam negeri. Dalam pengalaman penulis, di beberapa PT Swasta, sudah melakukan upaya tersebut, tujuannya adalah membekali calon lulusan dengan kemahiran dan pengalaman kerja secara mandiri, dan didalam kurikulum "enterpreanurship" ini sebuah mata kuliah wajib. Inisiasi sebelum mahasiswa lulus dari PT menjadi sangat penting, karena akan membuka cakrawala kehidupan mereka, bahwa di dunia nyata tidak seperti yang mereka pikirkan dan bayangkan.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sigitbc/enterpreanurship-sarjana-pengangguran_55a3ad8220afbd4c0800c0d3Labels: gaya hidup