"Dapur Solo" Melestarikan Makanan Khas Kota Solo

Mengapa kuliner tradisional perlu dilestarikan ? Pertanyaan ini menggugah saya untuk menelusuri aneka kuliner tradisional. Sebagai pribadi yang dibesarkan dalam budaya Jawa selama 25 tahun, ada keinginan mencicipi kuliner daerah lain. 

Ketika bekerja di Jakarta, masakan - masakan dari asal kota saya, Kota Solo sulit saya temui. Tiap hari dihadapkan aneka makanan dari pelbagai daerah, masakan favorit saya masakan Padang. Kenapa saya menyukainya ? 

Lidah saya yang terbiasa dengan masakan khas Solo yang manis - manis mendapatkan sensasi lain ketika mengecap bumbu - bumbu dari Sumatera Barat ini. Mungkin karena restoran atau warung masakan Padang mudah ditemui di Jakarta, saya menjadi getol menyantapnya. 

Tak masakan Padang, tapi juga masakan Sumatera Utara. Dimana dalam soal perbumbuan kedua masakan ini tidak jauh beda. Mengandalkan rempah - rempah seperti kapulaga, mrica, bawah putih, bawah merah, kunyit, tambahan jahe, dan beberapa rempah lainnya. Kekhasan masakan asal Sumatera adalah pedas, kebetulan saya menyukai masakan bumbu pedas. 

Meski sudah terbiasa melahap aneka masakan tradisional dari berbagai propinsi di Indonesia, ternyata kerinduan akan masakan daeral asal tak pernah padam. Seperti kisah Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK) saat berhadapan dengan masakan asal kota saya, yakni Kota Solo. Seribu kenangan dan ingatan yang tak pernah terhapus dari benak saya.

Ketika mendapatkan undangan pembukaan cabang ke-5 dari  restoran khas Solo, Dapur Solo memori - memori lama kembali muncul. Dalam kesempatan yang indah itu, saya diingatkan lagi masa - masa lalu dengan  aneka "Jajanan Pasar " (kudapan) khas Solo, antara lain Lumpia kering, Combro, Risoles Rogut, Bolu Ubi, Lemper.

Semasa kecil saya, Jajanan Pasar itu banyak dijual di pasar - pasar tradisional dan disajikan dengan "tampah", sebuah piring besar terbuat dari anyaman bambu diatasnya dilapisi daun pisang untuk menaruh makanan tadi. Ketika di Dapur Solo, sajian makan ini ini lebih modern, dikemas dengan kardus lebar dan penutupnya terdapat plastik transparan. Sehingga aneka isi makanan dapat terlihat terlihat, kesan bersih dan rapi membuat tampilannya menarik. 

Hebat sekali cara Ibu Swan Kumarga mengemas dan menyajikan makanan 'ndeso' ini lebih kekinian. Bayangan tidak hiegienis terusir dari benak saya ketika melihat kemasan "Jajanan Pasar" ini.  Tak salah bila Kementerian Pariwisata menggandeng Dapur Solo mendapatkan fasilitas "co-branding" Wonderful Indonesia. 

Tak hanya makanan itu, saya pun disuguhi bubur khas Solo, yakni "Bubur Lemu". Makanan ini selalu menjadi incaran para pemudik yang datang ke Solo. Terbuat dari bubur beras, telor rebus, kuah khusus. Rasa sangat otentik, berbeda dengan bubur - bubur yang dijual di seputaran Kota Solo. 

Ibu Swan Kumarga, pendiri Dapur Solo mengawali bisnis restoran ini dari garasi rumah. Berkat ketekunan dan kecintaan terhadap kota asalnya, Kota Solo ia bersama suami dan anak satu-satunya sukses melebarkan usahanya di Jabodetabek. 

Salah satu kelebihan Dapur Solo menurut saya adalah kekhasan masakannya yang sudah disesuaikan dengan lidah warga ibukota yang multi -etnis. Kekhasan rasa manis pada masakan dari Kota Solo sudah dikurangi, dibumbui dengan rasa lain yang tak kalah sedap. Perlahan namun pasti, kuliner Dapur Solo bisa diterima oleh rata - rata lidah warga Jakarta dan sekitarnya. Makanan - makanan  "ndeso" dari Kota Solo pun akhirnya masuk dalam jajaran resto modern di Jakarta yang didominasi restoran dari luar negeri.

Labels:

body { background:#aba; margin:0; padding:20px 10px; text-align:center; font:x-small/1.5em "Trebuchet MS",Verdana,Arial,Sans-serif; color:#333; font-size/* */:/**/small; font-size: /**/small; } /* Page Structure ----------------------------------------------- */ /* The images which help create rounded corners depend on the following widths and measurements. If you want to change these measurements, the images will also need to change. */ @media all { #content { width:740px; margin:0 auto; text-align:left; } #main { width:485px; float:left; background:#fff url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_main_bot.gif") no-repeat left bottom; margin:15px 0 0; padding:0 0 10px; color:#000; font-size:97%; line-height:1.5em; } #main2 { float:left; width:100%; background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_main_top.gif") no-repeat left top; padding:10px 0 0; } #main3 { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/rails_main.gif") repeat-y; padding:0; } #sidebar { width:240px; float:right; margin:15px 0 0; font-size:97%; line-height:1.5em; } } @media handheld { #content { width:90%; } #main { width:100%; float:none; background:#fff; } #main2 { float:none; background:none; } #main3 { background:none; padding:0; } #sidebar { width:100%; float:none; } } /* Links ----------------------------------------------- */ a:link { color:#258; } a:visited { color:#666; } a:hover { color:#c63; } a img { border-width:0; } /* Blog Header ----------------------------------------------- */ @media all { #header { background:#456 url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_cap_top.gif") no-repeat left top; margin:0 0 0; padding:8px 0 0; color:#fff; } #header div { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_cap_bot.gif") no-repeat left bottom; padding:0 15px 8px; } } @media handheld { #header { background:#456; } #header div { background:none; } } #blog-title { margin:0; padding:10px 30px 5px; font-size:200%; line-height:1.2em; } #blog-title a { text-decoration:none; color:#fff; } #description { margin:0; padding:5px 30px 10px; font-size:94%; line-height:1.5em; } /* Posts ----------------------------------------------- */ .date-header { margin:0 28px 0 43px; font-size:85%; line-height:2em; text-transform:uppercase; letter-spacing:.2em; color:#357; } .post { margin:.3em 0 25px; padding:0 13px; border:1px dotted #bbb; border-width:1px 0; } .post-title { margin:0; font-size:135%; line-height:1.5em; background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/icon_arrow.gif") no-repeat 10px .5em; display:block; border:1px dotted #bbb; border-width:0 1px 1px; padding:2px 14px 2px 29px; color:#333; } a.title-link, .post-title strong { text-decoration:none; display:block; } a.title-link:hover { background-color:#ded; color:#000; } .post-body { border:1px dotted #bbb; border-width:0 1px 1px; border-bottom-color:#fff; padding:10px 14px 1px 29px; } html>body .post-body { border-bottom-width:0; } .post p { margin:0 0 .75em; } p.post-footer { background:#ded; margin:0; padding:2px 14px 2px 29px; border:1px dotted #bbb; border-width:1px; border-bottom:1px solid #eee; font-size:100%; line-height:1.5em; color:#666; text-align:right; } html>body p.post-footer { border-bottom-color:transparent; } p.post-footer em { display:block; float:left; text-align:left; font-style:normal; } a.comment-link { /* IE5.0/Win doesn't apply padding to inline elements, so we hide these two declarations from it */ background/* */:/**/url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/icon_comment.gif") no-repeat 0 45%; padding-left:14px; } html>body a.comment-link { /* Respecified, for IE5/Mac's benefit */ background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/icon_comment.gif") no-repeat 0 45%; padding-left:14px; } .post img { margin:0 0 5px 0; padding:4px; border:1px solid #ccc; } blockquote { margin:.75em 0; border:1px dotted #ccc; border-width:1px 0; padding:5px 15px; color:#666; } .post blockquote p { margin:.5em 0; } /* Comments ----------------------------------------------- */ #comments { margin:-25px 13px 0; border:1px dotted #ccc; border-width:0 1px 1px; padding:20px 0 15px 0; } #comments h4 { margin:0 0 10px; padding:0 14px 2px 29px; border-bottom:1px dotted #ccc; font-size:120%; line-height:1.4em; color:#333; } #comments-block { margin:0 15px 0 9px; } .comment-data { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/icon_comment.gif") no-repeat 2px .3em; margin:.5em 0; padding:0 0 0 20px; color:#666; } .comment-poster { font-weight:bold; } .comment-body { margin:0 0 1.25em; padding:0 0 0 20px; } .comment-body p { margin:0 0 .5em; } .comment-timestamp { margin:0 0 .5em; padding:0 0 .75em 20px; color:#666; } .comment-timestamp a:link { color:#666; } .deleted-comment { font-style:italic; color:gray; } .paging-control-container { float: right; margin: 0px 6px 0px 0px; font-size: 80%; } .unneeded-paging-control { visibility: hidden; } /* Profile ----------------------------------------------- */ @media all { #profile-container { background:#cdc url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_prof_bot.gif") no-repeat left bottom; margin:0 0 15px; padding:0 0 10px; color:#345; } #profile-container h2 { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_prof_top.gif") no-repeat left top; padding:10px 15px .2em; margin:0; border-width:0; font-size:115%; line-height:1.5em; color:#234; } } @media handheld { #profile-container { background:#cdc; } #profile-container h2 { background:none; } } .profile-datablock { margin:0 15px .5em; border-top:1px dotted #aba; padding-top:8px; } .profile-img {display:inline;} .profile-img img { float:left; margin:0 10px 5px 0; border:4px solid #fff; } .profile-data strong { display:block; } #profile-container p { margin:0 15px .5em; } #profile-container .profile-textblock { clear:left; } #profile-container a { color:#258; } .profile-link a { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/icon_profile.gif") no-repeat 0 .1em; padding-left:15px; font-weight:bold; } ul.profile-datablock { list-style-type:none; } /* Sidebar Boxes ----------------------------------------------- */ @media all { .box { background:#fff url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_side_top.gif") no-repeat left top; margin:0 0 15px; padding:10px 0 0; color:#666; } .box2 { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_side_bot.gif") no-repeat left bottom; padding:0 13px 8px; } } @media handheld { .box { background:#fff; } .box2 { background:none; } } .sidebar-title { margin:0; padding:0 0 .2em; border-bottom:1px dotted #9b9; font-size:115%; line-height:1.5em; color:#333; } .box ul { margin:.5em 0 1.25em; padding:0 0px; list-style:none; } .box ul li { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/icon_arrow_sm.gif") no-repeat 2px .25em; margin:0; padding:0 0 3px 16px; margin-bottom:3px; border-bottom:1px dotted #eee; line-height:1.4em; } .box p { margin:0 0 .6em; } /* Footer ----------------------------------------------- */ #footer { clear:both; margin:0; padding:15px 0 0; } @media all { #footer div { background:#456 url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_cap_top.gif") no-repeat left top; padding:8px 0 0; color:#fff; } #footer div div { background:url("https://resources.blogblog.com/blogblog/data/rounders/corners_cap_bot.gif") no-repeat left bottom; padding:0 15px 8px; } } @media handheld { #footer div { background:#456; } #footer div div { background:none; } } #footer hr {display:none;} #footer p {margin:0;} #footer a {color:#fff;} /* Feeds ----------------------------------------------- */ #blogfeeds { } #postfeeds { padding:0 15px 0; }

Wednesday, 13 December 2017

"Dapur Solo" Melestarikan Makanan Khas Kota Solo

Mengapa kuliner tradisional perlu dilestarikan ? Pertanyaan ini menggugah saya untuk menelusuri aneka kuliner tradisional. Sebagai pribadi yang dibesarkan dalam budaya Jawa selama 25 tahun, ada keinginan mencicipi kuliner daerah lain. 

Ketika bekerja di Jakarta, masakan - masakan dari asal kota saya, Kota Solo sulit saya temui. Tiap hari dihadapkan aneka makanan dari pelbagai daerah, masakan favorit saya masakan Padang. Kenapa saya menyukainya ? 

Lidah saya yang terbiasa dengan masakan khas Solo yang manis - manis mendapatkan sensasi lain ketika mengecap bumbu - bumbu dari Sumatera Barat ini. Mungkin karena restoran atau warung masakan Padang mudah ditemui di Jakarta, saya menjadi getol menyantapnya. 

Tak masakan Padang, tapi juga masakan Sumatera Utara. Dimana dalam soal perbumbuan kedua masakan ini tidak jauh beda. Mengandalkan rempah - rempah seperti kapulaga, mrica, bawah putih, bawah merah, kunyit, tambahan jahe, dan beberapa rempah lainnya. Kekhasan masakan asal Sumatera adalah pedas, kebetulan saya menyukai masakan bumbu pedas. 

Meski sudah terbiasa melahap aneka masakan tradisional dari berbagai propinsi di Indonesia, ternyata kerinduan akan masakan daeral asal tak pernah padam. Seperti kisah Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK) saat berhadapan dengan masakan asal kota saya, yakni Kota Solo. Seribu kenangan dan ingatan yang tak pernah terhapus dari benak saya.

Ketika mendapatkan undangan pembukaan cabang ke-5 dari  restoran khas Solo, Dapur Solo memori - memori lama kembali muncul. Dalam kesempatan yang indah itu, saya diingatkan lagi masa - masa lalu dengan  aneka "Jajanan Pasar " (kudapan) khas Solo, antara lain Lumpia kering, Combro, Risoles Rogut, Bolu Ubi, Lemper.

Semasa kecil saya, Jajanan Pasar itu banyak dijual di pasar - pasar tradisional dan disajikan dengan "tampah", sebuah piring besar terbuat dari anyaman bambu diatasnya dilapisi daun pisang untuk menaruh makanan tadi. Ketika di Dapur Solo, sajian makan ini ini lebih modern, dikemas dengan kardus lebar dan penutupnya terdapat plastik transparan. Sehingga aneka isi makanan dapat terlihat terlihat, kesan bersih dan rapi membuat tampilannya menarik. 

Hebat sekali cara Ibu Swan Kumarga mengemas dan menyajikan makanan 'ndeso' ini lebih kekinian. Bayangan tidak hiegienis terusir dari benak saya ketika melihat kemasan "Jajanan Pasar" ini.  Tak salah bila Kementerian Pariwisata menggandeng Dapur Solo mendapatkan fasilitas "co-branding" Wonderful Indonesia. 

Tak hanya makanan itu, saya pun disuguhi bubur khas Solo, yakni "Bubur Lemu". Makanan ini selalu menjadi incaran para pemudik yang datang ke Solo. Terbuat dari bubur beras, telor rebus, kuah khusus. Rasa sangat otentik, berbeda dengan bubur - bubur yang dijual di seputaran Kota Solo. 

Ibu Swan Kumarga, pendiri Dapur Solo mengawali bisnis restoran ini dari garasi rumah. Berkat ketekunan dan kecintaan terhadap kota asalnya, Kota Solo ia bersama suami dan anak satu-satunya sukses melebarkan usahanya di Jabodetabek. 

Salah satu kelebihan Dapur Solo menurut saya adalah kekhasan masakannya yang sudah disesuaikan dengan lidah warga ibukota yang multi -etnis. Kekhasan rasa manis pada masakan dari Kota Solo sudah dikurangi, dibumbui dengan rasa lain yang tak kalah sedap. Perlahan namun pasti, kuliner Dapur Solo bisa diterima oleh rata - rata lidah warga Jakarta dan sekitarnya. Makanan - makanan  "ndeso" dari Kota Solo pun akhirnya masuk dalam jajaran resto modern di Jakarta yang didominasi restoran dari luar negeri.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home