Jakarta, kota Metropolitan yang tidak adil dalam memperlakukan pengguna jalan raya atau jalan umum. Bagaimana tidak, sarana jalan raya di Jakarta saat ini lebih banyak dikuasai oleh kendaraan bermotor, untuk pengendara sepeda pun tidak memadai, apalagi pejalan kaki tidak diberikan ruang yang layak. Alih-alih untuk para "disable", masih jauh dari harapan. Memang di area - area tertentu, seperti di jalan - protokol terlihat nyaman bagi pejalan kaki, namun tidak semua jalan - jalan di jakarta memberikan fasilitas yang layak untuk pejalan kaki. Bila sarana jalan raya untuk kendaraan bermotor, berlobang sedikit saja, buru-buru Dinas PU menambal jalan berlobang.
Sedang trotoar untuk pejalan kaki meski rusak, bergelombang dibiarkan dalam waktu lama, menunggu anggaran tahun berikut, itu pun kalau sempat. Sebagai kota metropolitan dunia, sewajarnya kota ini secara rutin memperhatikan sarana bagi pejalan agar nyaman dan aman di jalan raya, terutama bagi saudara yang "Disable", penataan ruas jalan sebaik selalu memberikan ruang bagi pejalan kaki yang nyaman dan aman. Sumber ketidaknyamanan lain adalah para pedagang kaki lima yang berkongkalikong dengan penguasa wilayah setempat untuk dapat mengelar dagangannya. Sebuah cerita lama yang sampai saat ini jauh dari tuntas. Mentalitas pengelola tempat dan pedagang kaki lima wajib diperbaiki untuk menciptakan kawasan yang nyaman dan tertib. Kasus - kasus penataan lokasi yang sukses seperti Tanah Abang, bila tidak dimonitor akan kembali seperti semula, ruwet, krodit dan rawan kriminal.
Sampai hari yang masih terasa krodit adalah kawasan Pasar Rebo, tepat di perempatannya, para pedagang masih tumpah ruah tidak beraturan, angkutan umum "ngetem" seenaknya, sehingga suasana tidak nyaman sangat terasa. Juga di pasar Kebayoran Lama yang juga perlu mendapat perhatian, masih banyak lokasi lainnya, sebaikknya aparat pemda setempat pro-aktif menata wilayah-wilayahnya terutama yang rawan. Kawasan lain yang menurut penulis rawan adalah kecelakan adalah di jalur persimpangan rel kereta api, terutama yang dilewati commuter line. Beberapa kasus yang menonjol adalah palang kereta api di stasiun, hampir setiap hari angkot "ngetem", menumpuk di dekat palang kereta sehingga menimbulkan kemacetan parah, selain juga di area stasiun kalibata. Di kedua lokasi tersebut memang jalur yang sangat ramai, apalagi pada saat jam berangkat kantor dan pulang kantor, angkot yang melewati pintu kereta api berdesak-desakan di kedua sisi rel kereta api. Kondisi sangat rawan bagi semua pengguna jalan raya, dan moda transportasi, baik dari sisi keselamatan dan kenyamanan.
Sebaiknya di lokasi-lokasi seperti itu, Dinas Pu, Satpol PP dan Polisi berjaga menertibkan para sopir angkot yang masih "egois" dengan tidak memperhatikan keselamatan pengguna jalan lainnya. Masih PR lainnya yang perlu dibenahi Kota Jakarta, ada persoalan yang terus berulang tanpa ada solusi integratif, ditambah lagi persoalan baru yang silih berganti. Fungsi perwakilan rakyat di legislatif sangat tumpul bila menyangkut urusan kecil, dan garang bilang menyangkut persoalan yang ada berbau uang. Seperti kekacauan di pintu kereta api Kalibata, padahal disitu para anggota legislatif yang di senayan tinggal, di perumahan DPR Kalibata.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sigitbc/menghargai-pejalan-kaki-di-jalan-raya_55a19fbf2bb0bd330f290c76Labels: gaya hidup