Apa sebenarnya aset terpenting dari sebuah bisnis kuliner? Rasa? Brand? Lokasi? Harga? Ketiga hal itu merupakan komponen yang wajib melekat, namun masih ada yang kurang, yaitu "rekomendasi". Bisnis "Hospitaly" termasuk bisnis kuliner, kata itu menjadi sebuah "magic" yang mendorong konsumen berduyun-duyun mendatangi sebuah restoran atau tempat makan. Tentu kita tidak asing dengan cerita "mulut ke mulut", yang ditularkan oleh teman, saudara kita tentang sebuah tempat makan di suatu tempat yang kita kunjungi? Misalkan anda dapat tugas luar kota dari kantor, sudah hampir dipastikan ada saja yang titip oleh khas yang jual di tempat "anu" dengan harga "sekian". Padahal yang nitip oleh - oleh tersebut tidak membekali kita uang, toh kita belikan juga, setidaknya bisa memuaskan pengalaman di tempat baru, dan membuktikan omongan tadi. Bila omongan tadi benar, dengan tidak sungkan - sungkan, kita pun akan menularkan pengalaman kita itu ke orang lain lagi. Maka tak heran bila sebuah rumah makan atau restoran bisa bertahan selama puluhan tahun, beberapa generasi, padahal tempat makan itu tidak mengeluarkan anggaran promosi di media. Bagaimana mungkin? Sangat masuk akal, dimana rumah makan itu mampu memberikan kesan (impresi) mendalam ke pengunjung, entah dari suasana, rasa, layanan, atau hal - hal yang khas di tempat itu. Bagi sebagian orang kenangan itu akan membekas, sehingga otomatis akan merekomendasi tempat itu kepada kenalan, kolega atau saudara yang kebetulan akan melewati atau berikunjung di dekat rumah makan /restoran itu berada.Dewasa ini, dengan kehadiran lokasi atau pusat - pusat kuliner, persaingan pun menjadi makin tajam, cerita dari mulut ke mulut memang masih efektif, namun akan mudah tertutup oleh lokasi lain yang lebih unik dan berkesan. Lalu bagaimana kita menjaga loyalitas konsumen / pelanggan agar secara reguler membelanjakan uangnya di tempat kita? Media sosial menjadi salah alternatif untuk mengikat loyalitas konsumen. Restoran - restoran besar dengan jaringan internasional, Starbuck, KFC, McDonald, memanfaatkan jaringan media sosial, menggunakan aplikasi mobile untuk IOS dan Android, serta merubah setting restoran sehingga membuat pelanggan nyaman berada di resto nya. Gaya hidup digital, dimana pelanggan resto cenderung menyukai duduk berjam-jam sambil memelototi gadget atau smartphone adalah sasaran empuk. Tak heran tempat nongkrong, restoran kini dilengkapi "stop kontak" dan fasilitas internet "wifi". Fasilitas ini membuat pengunjung merasa betah berlama-lama, tanpa terasa uang mereka tersedot ke billing resto. So? Untuk strategi harga makanan, resto juga perlu berhati-hati, meski ada fasiltas lengkap dan nyaman (ber-AC) tapi harga makanan dan minuman mencekik kantong, konsumen juga akan berpikir dua kali untuk kembali "nongkrong" disitu. Starbuck bisa jadi adalah kedai yang sukses menggabungkan antara harga,lokasi, fasilitas, kualitas F&B dan menjaga loyalitas konsumen.Strategi promosi dan penjualan dengan memanfaat \'member card", diskon langsung, dan F&B gratis membuat pengunjung merasa sepadan antara uang yang dikeluarkan dengan layanan yang diberikan. Selain layanan offline, Starbuck juga menggarap layanan online di platform media sosial populer, seperti Facebook, twitter, dll dengan mengkombinasikan kartu keanggotaan, calon pembeli bisa melakukan preservasi an reservasi lewat aplikasi android atau medsos. Untuk mengaktif layanan pre-sale ini, Starbuck tidak segan - segan memberikan"gift" atau potongan harga untuk F@B tertentu. So, siapa mau mengikuti? _____________________________ Berminat meningkat loyalitas dan penjualan bisnis kulinter / resto / toko anda ? Hubungi :